Rabu, 12 April 2017

PATUNG PANCORAN DAN KISAH SEDIH DIBALIK SEJARAHNYA


Versi awal Patung Pancoran, tangan memegang pesawat. Tapi kemudian direvisi, karena seperti mainan. Akhir nya dibuat natural. Patung Pancoran adalah ide Bung Karno sebagai simbol kebangkitan pertahanan dan industri dirgantara di tanah air. Pematungnya adalah Edhi Sunarso, yang rela berkorban harta agar patung ini selesai, patung Pancoran menyimpan kisah sedihnya sendiri...

Berikut dikutip dalam majalah Angkasa :

“Dhi, saya mau membuat Patung Dirgantara untuk memperingati dan menghormati para pahlawan penerbang Indonesia. Kau tahu kalau Bangsa Amerika, Bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya. Tetapi Indonesia, apa yang bisa kita banggakan? Keberaniannya!!!”

Demikian percakapan Bung Karno dengan Edhi Sunarso di teras belakang Istana Negara, Jakarta, 1964 yang menyiratkan betapa bangganya Presiden pertama Indonesia itu dengan heroisme para penerbang Indonesia. Ironisnya, tidak semua orang mengenal penggagas dan pembuatnya, apalagi memahami gagasan dan permasalahannya.

Suatu hari penulis memiliki kesempatan untuk melakukan wawancara langsung dengan Edhi Sunarso (82), pematung legendaris kepercayaan Presiden Sukarno di kediamannya di Jl. Kaliurang Km 5,5 No. 72 Yogyakarta.

Dalam kesempatan peresmian “Tugu Muda” Semarang tahun 1953 yang dikerjakan oleh Sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan, Edhi Sunarso bertemu dengan Bung Karno.

Kala itu Bung Karno menghampiri Edhi dan berkata, “Selamat ya, sukses.” Edhi terdiam bingung mendapat ucapan tersebut. Beberapa hari kemudian ia baru tahu kalau dirinya menjadi juara kedua lomba seni patung internasional yang diselengarakan di London dengan judul “Unknown Political Prisoner”.

Usai menyelesaikan pembuatan relief Museum Perjuangan di daerah Bintaran Yogyakarta tahun 1959, Edhi dipanggil Bung Karno untuk menemuinya di Jakarta. Panggilan tersebut sempat membuatnya terkejut. Dalam hati, Edhi bertanya-tanya ada kepentingan apa Bung Karno memanggilnya ke Jakarta. Selain dia, dua seniman lainnya, yaitu Henk Ngatung dan Trubus juga mendapat panggilan serupa.

Ketiga pematung andalan Indonesia ini kemudian melahirkan patung Selamat Datang yang hingga kini bisa kita nikmati di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.

Dari sekian banyak proyek pembuatan monumen dari Bung Karno, Edhie mengakui kalau pembuatan Patung Dirgantara nyaris mandek. Patung Dirgantara dimaksudkan Bung Karno untuk menghormati jasa para pahlawan penerbang Indonesia yang berhasil melakukan pengeboman terhadap kedudukan Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga menggunakan pesawat-pesawat bekas peninggalan Jepang.

“Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah berani. Kalau Amerika dan Soviet bisa membanggakan dirinya karena punya industri pesawat, kita juga harus punya kebanggaan. Jiwa patriotisme itulah kebanggaan kita! Karena itu saya ingin membuat sebuah monumen manusia Indonesia yang tengah terbang dengan gagah berani, untuk menggambarkan keberanian bangsa Indonesia. Kalau dalam tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang tengah menjejakkan bumi,” ujar Edhie Sunarso mengenang perkataan Bung Karno panjang lebar.

Bung Karno meminta Edhie untuk memvisualisasikan sosok lelaki gagah perkasa yang siap terbang ke angkasa. Bahkan Bung Kano kemudian berpose sambil berkata, “Seperti ini lho, Dhi. Seperti Gatotkaca menjejak bentala.”

Setelah model Patung Dirgantara, atau patung Pancoran selesai, Edhie mengusulkan kepada Bung Karno agar patung yang rencananya berbentuk seorang manusia yang memegang pesawat di tangan kanannya diubah.

“Pak, dengan memegang pesawat di tangan kok terlihat seperti mainan,” ujar Edhie. “Bagaimana kalau di tangan kanannya tidak usah ada pesawat. Cukup dengan gerak tubuh manusia saja, didukung gerak selendang yang diterpa angin,” lanjut Edhie. “Yo wis Dhi, nek kowe anggep luwih apik yo ora usah dipasang. Ora usah digawe,” (Ya sudah Dhi, kalau kamu menganggap lebih baik ya tidak usah dipasang. Tidak usah dibuat) jawab Bung Karno.

Pembuatan monumen Patung Dirgantara sempat terhenti karena terjadi peristiwa G30S/PKI. Di sisi lain Edhie juga sudah tidak memunyai bahan-bahan, dan tidak memunyai uang lagi untuk melanjutkan pekerjaan. Ia bahkan menanggung utang kepada pemiliki bahan perunggu dan kepada bank.

Patung Digantara sempat beberapa tahun terbengkalai di Studio Arca Yogyakarta dalam bentuk potongan-potongan yang siap dirangkai. “Patung sudah selesai dicor perungu dan tinggal dibawa untuk dirangkai di Jakarta,” ujarnya.

Februari 1970, di sela-sela pengerjaan diorama untuk Museum ABRI Satria Mandala, Edhie mendapat panggilan panitia pembangunan Monas untuk menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut Edhie melihat Suryadarma dan Leo Wattimena, serta pelukis Dullah dan beberapa teman dekatnya. “Saudara Edhie, piye kabare?” kata Bung Karno. “Patung Dirgantara nang endi?”

“Sampun rampung, Pak, (Sudah selesai, pak)” jawab Edhi.

“Kok durung dipasang? tanya Bung Karno.

Bung Karno terenyuh. Tidak berapa lama ia memanggil Gafur dan Dullah yang duduk di belakang Bung Karno.

“Fur, mobilku dolen, sing Buick. Nek wis payu duite serahno Edhi ben cepet (Fur, mobilku jual saja, yang Buick. Kalau sudah laku, uangnya serahkan Edhie supaya cepat) dipasang patungnya,” ujar bung Karno.

Setelah itu Edhie pamit pulang ke Yogyakarta untuk mempersiapkan pengangkutan patung ke Jakarta. Sebelum pulang, seorang staf Bung Karno menyerahkan uang sebesar Rp1.750.000 kepada Edhi untuk biaya transportasi pengangkutan patung ke Jakarta.

Tak sampai meresmikan

Satu minggu pekerjaan berjalan, Bung Karno melihat langsung pengerjaan merangkai patung. Setiap bagian yang diangkat rata-rata seberat 80-100 kg. Pemasangan dimulai dari bagian kaki sampai pinggang dan setiap sambungan dilas.

Ketika sampai pengelasan pada bagian pinggang, Edhie melihat ke bawah dan terlihat banyak orang berkerumun termasuk Bung Karno. Padahal, kondisi kesehatan Bung Karno saat itu sedang tidak baik dan ia sudah tinggal di Wisma Yaso. Edhie pun bergegas untuk turun, namun dilarang oleh Bung Karno.

Minggu pertama April 1970, pemasangan patung sudah sampai di bagian pundak dan tangan kanan sudah terpasang. Sedangkan tangan kiri dalam tahap penyambungan. Dalam kondisi yang kurang sehat, Bung Karno kembali meninjau proses pemasangan. Seperti yang pertama, Edhi segera bergegas untuk turun dari atas, tetapi lagi-lagi dilarang oleh Bung Karno. Bung Karno meminjam megaphone pasukan pengawal agar saya terus bekerja.

Mei 1970, Edhi mendengar kabar kalau Bung Karno akan melakukan inspeksi untuk ketiga kalinya. Akan tetapi hal itu ternyata tidak pernah terlaksana karena sakit Bung Karno semakin serius .

Pagi pukul 10.00 tanggal 21 Juni 1970, Edhi yang kala itu sedang berada di puncak Patung Dirgantara, melihat iring-iringan mobil jenazah melintas di bawah monumen. Ternyata itu adalah iring-iringan mobil jenazah Bung Karno dari Wisma Yaso menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Jenazah Bung Karno akan dibawa ke Blitar.

Badan Edhie lemas. Ia bergegas turun dan bersama rekannya Gardono, bergegas menuju Blitar untuk mengikuti upacara pemakaman Bung Karno.

Semingu setelah pemakaman Bung Karno, Edhie bersama tim pekerja monumen kembali ke Jakarta untuk melakukan pengerjaan akhir sekitar satu bulan. Edhie meninggalkan monumen dalam kondisi yang belum diberi nama, belum diresmikan, dan masih memiliki utang.

Namun ia merasa ikhlas dengan apa yang telah ia kerjakan untuk seorang tokoh sebesar Bung Karno yang sangat ia kagumi. Tokoh yang sangat dekat dengan seniman dan menghargai seni.

“Saya rela demi rasa cintaku kepada bangsa dan negara dan cintaku kepada Bung Karno yang selalu mendorong dan membangkitkan keberanian saya untuk mewujudkan ide-ide dan mengerjakan karaya-karya monumental Bung Karno,” kata Edhi.

(Sumber : angkasa.co.id)
(Foto : @Little_Fly_Boy)






Sabtu, 17 Desember 2016

Fly high my beloved best friend Pace Noge, rest in peace...

Pagi yang cukup cerah mendadak berubah menjadi sendu saat saya melihat sebuah message di grup letting "bro, ada yg tau info ttg A-1334?". Saya segera mempercepat laju mobil menuju Lanud Halim utk bersiap mengantar istri bertemu sahabat²nya di acara "car free day" di bilangan Monas, Jakarta.

Sesampainya di rumah, saya segera menghubungi pihak² terkait untuk menanyakan perkembangan apa yg terjadi dengan A-1334 yang kebetulan diawaki oleh sahabat saya itu.

Kabar dukapun tak dapat dielakkan, sang putra Zeus lost contact dan berakhir di Pegunungan Pugima, tak jauh dari Wamena. Ia terhempas saat kabut masih menyelimuti Lembah Baliem, Wamena. Tempat dimana saya sempat menghirup udara segar dan menikmati beberapa jenis buah yang ditanam secara tradisional oleh masyarakat Papua. Tempat dimana saya lahir dan berkembang sebagai seorang penerbang C-130 Hercules, tempat dimana saya mengenal istilah "nangka papua", "salak papua" dan sosok "John Kogoya" yang sering dijadikan cerita tentang Papua.

Mayor Pnb Marlon Ardilles Kawer, putra asli Biak Numfor, Papua. Sosok teman, rekan sejawat, letting, instruktur dan sahabat yang senantiasa menjadi tempat curhat colongan saat saya galau menghadapi tugas, sahabat yang senantiasa mengingatkan saya akan pentingnya loyalitas dan keikhlasan dalam menjalankan tugas negara.

Kini sosokmu mulai memasuki bingkai kenangan, menyusul rekan kita alm Lettu Pnb Arif Hidayat dan alm Lettu Pnb Yudho Pramono. Tiada kata yg sanggup menggambarkan rasa kehilangan saya selain untaian doa semoga engkau berbaring dalam kedamaian abadi di sisi Tuhanmu. Hilang semua salah dan dosa, luruh segala asa seiring lepasnya jiwa dari ragamu. Kami yang masih berdiri di sini, akan senantiasa menegakkan kepala menjaga kedaulatan Ibu Pertiwi, karena bagi kami patah tumbuh hilang berganti bukanlah sekedar semboyan belaka. Akan banyak Marlon-marlon lain dari tanah Papua yang akan meneruskan darma bhaktimu bagi negeri ini...

Selamat jalan sahabat, selamat jalan...


Rest in Peace,
Mayor Pnb Marlon Ardilles Kawer
A-1334, Peg. Pugima, Wamena, Papua
18 Desember 2016

Rabu, 30 November 2016

KIPRAH SKADRON UDARA 51 DI HUT TNI 2015 SEBAGAI PIONEER KEBANGKITAN ERA PESAWAT TERBANG TANPA AWAK / UAV

Penggunaan pesawat terbang tanpa awak sudah sejak lama ada di Indonesia, diawali dengan berkembangnya hobby aeromodelling di kalangan pramuka saka dirgantara hingga terbentuknya berbagai macam klub penghobi dunia yang berkaitan dengan pesawat mini tersebut.

Seiring dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi, penggunaan pesawat aeromodelling tidak hanya sebatas sebagai pesawat mainan yang hanya diterbangkan dan dinikmati manuvernya, tetapi juga mulai digunakan untuk mendukung tugas tugas seperti pemotretan, pengamatan bahkan pengantaran barang barang yang berukuran kecil.
Pada era tahun 70an, dimana negara negara berkembang masih berkutat dengan pembangunan ekonomi dan infrastruktur, negara adidaya seperti Amerika Serikat sudah mengembangkan teknologi canggih dalam memperkuat pertahanan dan keamanan internal maupun eksternal negaranya melalui CIA (Central Inteligence Agency). Jika anda berkunjung ke museum CIA, anda akan menyaksikan berbagai macam benda yang digunakan untuk kepentingan intelijen mulai dari kamera yang berbentuk kancing sampai dengan UAV mikro berbentuk capung yang dapat terbang selama 2 jam untuk merekam suara.

Perkembangan teknologi pun tidak berhenti sampai di situ, khususnya mengenai perkembangan teknologi surveilence melalui UAV yang hingga saat ini terus menerus mengalami perkembangan. Setelah sukses dengan keberadaan Global Hawk yang beroperasional di ketinggian 60.000 ft sebagai UAV tercanggih saat ini, Amerika Serikat bahkan mulai mengembangkan pesawat tempur nirawak untuk melengkapi koleksi mesin perangnya.
Skadron Udara 51 sebagai pioneer dari era penggunaan pesawat terbang tanpa awak (PTTA) memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung tugas pokok TNI AU bahkan TNI secara umum dalam menjaga kedaulatan NKRI. Berawal dari sulitnya pemantauan kegiatan illegal logging di hutan Kalimantan dan Sumatera, penyelundupan, hingga pengamanan di daerah perbatasan, Kementrian Pertahanan mulai melakukan terobosan penggunaan pesawat nirawak untuk mendukung kegiatan pengamatan yang dalam hal ini dioperasikan oleh TNI AU.

Sesuai dengan tuntutan tugas di atas maka dibentuklah suatu skadron udara yang mengoperasikan pesawat nirawak yang berkedudukan di Lanud Supadio, Pontianak. Seiring dengan perkembangan yang dinamis, maka skadron udara ini diresmikan menjadi Skadron Udara 51 yang berkedudukan di bawah Wing Udara 7 Lanud Supadio pada tanggal 13 Juli 2015. Kiprah nyata perdana Skadron Udara 51 secara resmi adalah melaksanakan surveilence, pengamatan dan pengintaian yang dikolaborasikan dengan perayaan HUT TNI ke-70 yang dilaksanakan di Dermaga Indah Kiat, Banten. Sesuai dengan fungsi dan tugas pokoknya sebagai pesawat pengintai, Skadron Udara 51 yang diperkuat dengan alutsista UAV AEROSTAR bertugas melakukan pengamatan dari awal rangkaian kegiatan peringatan HUT TNI hingga selesai acara yang keseluruhannya memakan waktu lebih kurang enam jam. Alokasi waktu selama enam jam ini bukan suatu hal yang sulit mengingat endurance pesawat nirawak ini mencapai 12 jam terbang.

Selama kegiatan, Skadron Udara 51 bertugas merekam kegiatan upacara, demo laut dan demo udara yang dilaksanakan oleh unsur unsur TNI AL dan TNI AU yang nantinya akan dijadikan bahan koreksi saat dilaksanakan debrief setelah semua kegiatan penerbangan selesai. Dengan hasil pengamatan yang ada, dapat dilihat bagaimana maneuver yang dilaksanakan, rute yang dilalui, bentuk formasi serta kendala kendala yang mungkin dihadapi oleh tiap tiap unsur dalam melaksanakan tugas. Sejak awal latihan dalam rangka HUT TNI tahun 2015 ini, pesawat nirawak aerostar sudah beberapa kali pulang pergi dari home basenya selama latihan di daerah Bogor menuju ke dermaga Indah Kiat sambil melaksanakan praktek surveilence sepanjang perjalanan. Jarak tempuh sejauh lebih kurang 90km bukan suatu masalah yang berarti mengingat jarak tempuh operasional maksimal dari pesawat ini adalah 250km. Setelah sampai di wilayah sasaran, kami melaksanakan holding dan melakukan beberapa maneuver untuk mendapatkan sudut pandang optimal dalam melakukan pengamatan selama jalannya kegiatan. Tak urung beberapa kali pesawat kami terhalang oleh kumpulan awan yang ada di sekitar dermaga sehingga hasil pengamatan menggunakan kamera dengan settingan “day camera” menjadi sulit dilihat, namun kami langsung mengganti ke mode “FLIR/forward looking infra red” yang dilengkapi dengan sensor panas sehingga seluruh pergerakan alutsista dapat terpantau dengan jelas. Dari hasil pantauan inilah koreksi, saran dan arahan dari pimpinan disampaikan kepada seluruh unsur pendukung khususnya demo udara.

5 OKtober 2015, hari yang dinantipun akhirnya datang. Seluruh crew sudah bersiap di landasan sejak pukul 05:00 WIB, instruktur yang memang mendampingi kami selama OJT memberikan briefing singkat mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan. Tak lama berselang kami pun segera melaksanakan preflight untuk mengecek system komunikasi, payload, system auto pilot hingga sensor yang terdapat di pesawat nirawak yang kami operasionalkan. Setelah semua persiapan selesai dan flight clearance sudah dikeluarkan oleh ATC, kami pun segera start engine dilanjutkan dengan taxi out sampai dengan posisi line up untuk melaksanakan final check sebelum menerbangkan pesawat. Setelah Eksternal pilot menyampaikan kode “second hand” yang berarti pesawat siap tinggal landas, kami berkonsentrasi ke seluruh parameter yang terlihat di layar GCS (Ground Control Station) untuk memperhatikan seluruh parameter selama pesawat rolling take off. Akhirnya pesawat pun take off dan climbing dengan membentuk pola pattern sampai dengan ketinggian 4000 ft kemudian  dilanjutkan dengan menuju dermaga indah kiat melewati rute yang sudah direncanakan sebelumnya sambil terus climbing hingga ketinggian 10.000 ft dan maintain di altitude tersebut. Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, pesawat pun tiba di area dermaga dan kamipun langsung mengadakan pengecekan system yang ada di pesawat. Setelah semua dinyatakan normal, kami langsung melaksanakan pemantauan terhadap kegiatan yang ada di dermaga dari awal persiapan, pelaksanaan upacara yang dilanjutkan dengan defile sampai dengan kegiatan demo laut dan udara hingga kepulangan Presiden menggunakan helicopter VVIP tak pernah lepas dari pantauan pesawat kami. Hasil pantauan yang didapatpun secara langsung dapat disaksikan di podium utama melalui system komunikasi V-conference oleh satkomlek tni. Satu hal yang menjadikan tugas kami serasa menyenangkan sekaligus menegangkan adalah saat kami mendengar melalui radio bahwa helikopter VVIP rombongan Presiden Jokowi berada 10nm menuju dermaga, kamipun langsung mengarahkan kamera pengintai untuk mencari sasaran.Tidak membutuhkan waktu yang lama, rombongan Presiden dapat kami pantau secara langsung dan sekaligus menggunakan "track mode" dimana pesawat akan terbang dan bermanuver menyesuaikan hasil kuncian dari lensa kamera pengintai kami. Bahkan saat rombongan mendarat dan dilanjutkan perjalanan darat hingga ke VIP room dermaga tidak ada satupun yang luput dati pengintaian kami.

Hasil pantauan yang didapat selama latihan menjadikan hari pelaksanaan HUT TNI ini mendekati sempurna seandainya beberapa moment dapat diabadikan dengan jelas dan tidak terhalang awan.
Namun, disamping semua kendala tersebut, kami bangga dapat melaksanakan tugas dengan optimal, mendukung kegiatan HUT TNI dengan cara yang relative baru. Bukan dengan ikut upacara atau fly past seperti unsur pendukung yang lain, tetapi dengan tugas kami sebagai skadron udara pengintai, kami dapat menyelesaikan tugas kami dengan baik memantau seluruh rangkaian kegiatan dan pendukung. Semoga ke depan, keberadaan pesawat tanpa awak tidak lagi dipandang sebelah mata ataupun disejajarkan dengan drone drone yang dijual secara bebas, bahwa pesawat tanpa awak yang kita punya walaupun belum sejajar dengan Predator xp ataupun Global Hawk, tetapi paling tidak pesawat tanpa awak yang kita miliki dapat menyampaikan informasi berharga yang pada akhirnya dapat mendukung unsur lain dalam menjaga kedaulatan NKRI.

Selasa, 16 Agustus 2016

Dirgahayu Indonesiaku

Mengenang 71 tahun lalu 16 - 17 Agustus 1945 :

“Sekarang, Bung. Sekarang! Malam ini  juga!” kata Chaerul Saleh kepada  Bung Karno.

”Kita  harus segera merebut  kekuasaan!” tukas Sukarni Kartodiwirjo berapi-api.

”Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!” seru para pemuda di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. 

Para pemuda, termasuk Wikana, Iwa Kusumasumantri, Djojopranoto,  dan Sudiro  datang ke  rumah Bung Karno pada 15 Agustus 1945 pukul 22. Mereka  mendesak Soekarno agar segera merumuskan naskah proklamasi begitu Jepang dikalahkan Sekutu pada 14 Agustus 1945. Tapi Bung Karno menolak keinginan mereka. Ia dan Bung Hatta ingin proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di mana Bung Karno menjadi Ketua PPKI. Para pemuda bersikeras agar  Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka beranggapan PPKI buatan Jepang. Mereka tidak ingin Bung Karno dan Bung Hatta terpengaruh Jepang dan tidak ingin kemerdekaan RI seolah-olah hadiah dari Jepang.

Mereka lalu membawa  Bung Karno dan Bung Hatta ke rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, Karawang, pada 16 Agustus 1945 pukul 3 dinihari, untuk merumuskan naskah proklamasi. Rengasdengklok dinilai aman, sedangkan di Jakarta para tentara Jepang bersiaga penuh. “Saya dan Guntur yang masih bayi ikut ke Rengasdengklok.  Kami dijemput Sukarni dan Winoto Danuasmoro dengan  mobil Fiat hitam kecil. Di dalam mobil sudah ada Bung Hatta,” cerita Fatmawati.

Pada 16 Agustus 1945 tengah malam Ahmad Soebardjo menjemput Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok. Sesampainya di Jakarta mereka disediakan tempat berkumpul di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Hubungan para nasionalis dekat dengan Maeda,  Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang. Ada 29 orang yang berkumpul di rumah Maeda  pada  malam itu. Mereka adalah Ir.Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantoro (Mas Suwardi Soerjaningrat), Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Teuku Mohammad Hassan, Otto Iskandar Dinata, R.Soepomo, BM Diah, Sukarni, dan  beberapa tokoh lainnya. 

Selama mereka berunding merumuskan naskah proklamasi, Maeda naik ke lantai atas rumahnya. Usai menulis naskah proklamasi bersama Mohammad Hatta dan Achmad Soebardjo, Soekarno membacakannya di hadapan para peserta rapat yang berkumpul di ruang tamu. Rapat baru selesai pada  17 Agustus 1945 pukul 3.00 dini hari,  tanggal 9 Ramadhan.

Setelah mendapat persetujuan dari semua hadirin, Bung Karno segera meminta Mohamad Ibnoe Sajoeti Melik mengetik naskah proklamasi. Sajoeti mengetik naskah ditemani wartawan Boerhanoeddin Mohammad  Diah. Tiga kata dari konsep naskah proklamasi yang ditulis tangan oleh Bung Karno diketik Sajoeti dengan beberapa perubahan kata. Kata ‘tempoh’ diubah menjadi ‘tempo’,  kata ‘Wakil-wakil bangsa Indonesia’ diubah menjadi ‘Atas nama bangsa Indonesia’. Begitu pula dalam penulisan hari, bulan, dan tahun. Tulisan tangan asli Bung Karno kemudian dibuang di tempat sampah oleh Sajoeti tapi dipungut oleh B.M. Diah, seorang penyiar Radio Hosokyoku dan wartawan Asia Raja.

Begitu naskah proklamasi selesai diketik, Soekarno dan Mohammad Hatta  segera menandatanganinya di atas piano di rumah Maeda. Bung Hatta  berpesan kepada para  pemuda  yang bekerja  di kantor-kantor berita agar menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Hari  Jumat, pukul  05.00 pagi,  pada 17 Agustus 1945, mereka ke luar dari rumah Laksamana Maeda dengan bangga karena teks Proklamasi selesai ditulis.

Bung Karno pulang ke Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Jakarta. Ia sedang sakit malaria. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun naskah proklamasi. Pukul 8, dua jam sebelum upacara pembacaan teks Proklamasi, Bung Karno masih berbaring di kamarnya. Ia minum obat kemudian tidur lagi. Pukul 09.00 Bung Karno terbangun. “Saya greges (tak enak badan),” kata Bung Karno.  Ia kemudian berpakaian rapi, memakai kemeja dan celana putih. Bung Hatta dan beberapa orang sudah menunggunya. Fatmawati sudah menyiapkan bendera merah putih.

Pada 17 Agustus 1945 pukul 10 Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda berkumpul di halaman depan rumah Bung Karno. Latief Hendraningrat menjadi pemimpin upacara bendera. Mereka mendengarkan Bung Karno membaca teks proklamasi dengan hikmad, terharu, dan bangga. Beberapa orang menangis terharu. Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman dinyanyikan dengan semangat meski tanpa iringan musik. Bendera merah putih dinaikkan. Setelah upacara yang singkat itu Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. Tubuhnya masih demam. Tapi ia sangat bangga. Sebuah negara baru telah dilahirkan. Pagi itu Indonesia merdeka.

Merdeka !!! Merdeka !!! Merdeka !!!

Rabu, 08 Juni 2016

Tribute to Beppy Utami Putri

“Hello everyone, my name is Beppy 32 years old woman from Indonesia. i am also coloceratal (rectal) cancer warior since Juny 2013 the doctor told me that i had rectal cancer stage 3, i already done the surgery and next week is my 12 chemo (last one i hope).. i just want to say let’s keep fighting and beat this cancer keep praying and may God always blessed for all of you here.”

Kalimat di atas adalah penggalan beberapa postingan almarhumah di media sosial sebelum akhirnya menyerah kepada kanker yang dideritanya, bahkan pembalap nasional Indonesia Rio Haryanto pun di sela sela kesibukannya masih memberikan support kepada almarhumah dengan sebuah pesan tertulis:

“Halo Beppy Utami Putri, cepat sembuh dan selalu semangat ya,"

Beppy Utami Putri, seorang wanita cantik mantan atlet judo nasional, lulusan fakultas kedokteran gigi UGM, istri dari Johny Tandipura, ibu dari dua orang anak dan adik dari sahabat saya, Arie Wicaksono, telah pergi mendahului kita setelah berjibaku dengan sakit yang dideritanya. Yah, coloceratal (rectal) cancer stadium 3 yang selama ini menggerogoti kekebalan tubuhnya akhirnya memenangkan pertempuran antara keduanya.

Seperti kata pepatah, tidak akan muncul dengan sebegitu indahnya kenangan tentang seseorang sampai ia meninggalkan kita untuk selamanya. Banyak kenangan yang kami lalui bersama. Kebetulan rumah sahabat saya di jalan kaliurang km.7 merupakan cek point atau tempat persinggahan kami para Taruna AAU letting 2003. Rumah yang sampai saat ini menyimpan kenangan terindah masa remaja kami, masa penuh suka, duka, canda, bahagia, tenggang rasa, tepa selira bahkan cinta. Banyak cerita hadir di sana, mulai dari kumpulan CD sewaan yang mungkin masih tertinggal belum dikembalikan, tempat rekan2 saya dijemput oleh para pacarnya (termasuk saya), "rumah horor" yang harus dihadapi para mahasiswa yang sedang PDKT ke Beppy atau teman2 kuliah wanita krn harus melewati serangkaian interogasi para Taruna  sampai kami para Taruna dijadikan objek praktek anastesi oleh almarhumah dan teman2nya.

Speechless, saya tak sanggup lagi menuliskan rangkaian kenangan yang sudah kami lalui bersama selama kurang lebih empat setengah tahun.

Sahabatku Arie, Tuhan lebih mencintainya dan tak ingin adik kita lebih menderita.

Mami & Om, tetaplah tabah dan percayalah, Beppy bahagia di dalam SurgaNya.

Rekan-rekan AAU 2003 korps Jakarta, rekan-rekan FKG UGM serta rekan-rekan FT sipil UGM, dan tak lupa rekan-rekan atlit Judo, sosok yang periang itu telah mendahului kita, mari kita senantiasa panjatkan doa untuknya dan tetap jaga kebersamaan, kekompakan dan silaturahmi kita.

Selamat jalan adikku, beristirahatlah dalam tenang di sisiNya.

Senin, 09 Mei 2016

Suatu renungan di sore hari

Renungan ini saya dapat dari seorang teman...

Seekor burung jatuh cinta pd mawar putih. Burung pun berusaha mengungkapkan perasaannya.
Tapi mawar putih berkata,''aku tdk akan pernah mencintaimu''

Tapi burung tak pernah menyerah, setiap hari burung datang utk bertemu dgn mawar putih..
Akhirnya mawar putih berkata,''aku akan mencintaimu, jika kamu dpt merubahku menjadi mawar merah !''

Dan suatu hari burung datang kembali, dia melukai sayap-sayapnya dan menebarkan darahnya kpd mawar putih, hingga mawar putih berubah menjadi merah''

Akhirnya mawar putih sadar, seberapa besarnya si burung mencintai dirinya, tetapi semuanya sdh terlambat, krn burung tak akan kembali lagi ke dunia''

Dia pergi utk selama-lamanya, mawar putih pun menyesal, walau penyesalan itu tak berarti lagi.. yg pergi tak mungkin kembali lagi...

Moral lesson:
Kadang kita baru sadar tentang arti cinta sejati setelah orang yg kita cintai pergi meninggalkan kita...

Org bijak berkata ::
Menikahi orang yg kita cintai itu hal biasa...
Yg luar biasa adalah mencintai orang yg kita nikahi...

Sekarang berjanjilah untuk menjaga orang yang kita cintai... Dan hari ini cukup indah untuk mengatakan cinta kita kepadanya, bukan ? 😍😘

Menikah adalah sesuatu yg mudah, tp menjaga pernikahan agar tetap selalu utuh, karena tidak mudah mempertahankannya, itulah Perjuangan yg sebenarnya... 

Janganlah mencintai dan mencari kesempurnaan, tp Cintailah Ketidak sempurnaan dgn Cara yg Sempurna.

Tarakan, 9 Mei 2016

Rabu, 27 April 2016

Mereview usia ke-35

Terkadang saya mendapat sedikit "kecaman" dari keluarga hahahahahha. Betapa tidak, beberapa kali anak anak saya, Naresh dan Quinsa merayakan ulang tahunnya tanpa kehadiran saya, tentunya karena tugas negara yang saya emban. Termasuk juga beberapa kali saya merayakan ultah tidak ditengah keluarga. Tahun 2015 saya rayakan di Jakarta bersama tumpukan buku dan materi tentang UAV yang sedang saya pelajari sebagai calon internal pilot UAV, tahun 2014 saya rayakan di kesunyian Jalan Malioboro, Yogyakarta bersama beberapa tukang becak dan pengamen jalanan disela kesibukan saya mengikuti pendidikan calon instruktur penerbang TNI AU. Dan kini di tahun 2016, saya kembali merayakan ulang tahun saya di Mess Walet Lanud Tarakan bersama rekan perwira dan anggota saya, di sela penugasan standby operasi pembebasan sandera Abu Sayaff di Philipina.

Sedih? Dongkol? Sesal? tentu ada, tapi semua rasa itu terhapus tatkala saya memandang keluar, sang merah putih yang (mungkin) lupa diturunkan oleh penjaga mess yang berkibar tertiup angin malam. Dwiwarna yang melandasi segenap pengabdian saya kepada Ibu Pertiwi, dwiwarna yang sejak dini terpatri dan menjadi bagian hidup saya, dwiwarna yang bahkan saya tidak merasa malu atau enggan untuk sekedar menghentikan kendaraan kemudian berdiri menghadap dan menghormat kepadanya saat penaikan maupun penurunan. Semua rasa itu berganti dengan ucapan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan saya usia hingga 35 tahun saat ini. Usia yang rata rata sudah memasuki setengah dari umur manusia normal. Sesaat saya beranjak, mengambil wudhu, melaksanakan shalat malam dan berdoa, mensyukuri segala nikmat, merenungi segala dosa dan salah, kepada diri sendiri, keluarga, sanak saudara dan kepada Sang Pencipta.

Aaaahhhhh, ga perlu keterusan lebay karena saya bukan anak alay. yaah, di usia yang ke-35 ini saya banyak bersyukur. Memiliki istri yang manis dan (inshaa Allah) Shalihah, anak anak yang mulai hilang ke-cute-annya diganti dengan celotehan celotehan yang kadang membuat saya tertawa ngakak atau pertanyaan pertanyaan yang kadang meng-skakmat saya karena pengetahuan saya yang masih jauh dari kata pintar (bayangkan jika suatu saat anak anda yang berusia 5 tahun tiba tiba berkata "bapak, adek kok merasa konyol", atau saat anda sedang ngopi sambil baca koran pagi tiba tiba ditanya "bapak, adek itu sebelum lahir berada di surga, terus keluar lewat mana?"). Saatnya move on dari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan dan bergerak menuju kemajuan pribadi menjadi manusia yang lebih bertaqwa, bermartabat dan bernilai, dari segi apapun tentunya.

Terima kasih kepada segenap orang tua, keluarga, guru, rekan sejawat, sahabat dan semua orang yang peduli kepada saya hingga saya menjadi seorang kamto adi saputra saat ini. Janganlah berhenti ataupun bosan untuk mengingatkan jika manusia satu ini mulai nyeleneh dan menyimpang dari apa yang kalian kenal dari diri saya.

Barakallah fii umrik wabarakallahu fii miladik


Tarakan, 26 April 2016