Selasa, 16 Agustus 2016

Dirgahayu Indonesiaku

Mengenang 71 tahun lalu 16 - 17 Agustus 1945 :

“Sekarang, Bung. Sekarang! Malam ini  juga!” kata Chaerul Saleh kepada  Bung Karno.

”Kita  harus segera merebut  kekuasaan!” tukas Sukarni Kartodiwirjo berapi-api.

”Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!” seru para pemuda di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. 

Para pemuda, termasuk Wikana, Iwa Kusumasumantri, Djojopranoto,  dan Sudiro  datang ke  rumah Bung Karno pada 15 Agustus 1945 pukul 22. Mereka  mendesak Soekarno agar segera merumuskan naskah proklamasi begitu Jepang dikalahkan Sekutu pada 14 Agustus 1945. Tapi Bung Karno menolak keinginan mereka. Ia dan Bung Hatta ingin proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di mana Bung Karno menjadi Ketua PPKI. Para pemuda bersikeras agar  Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka beranggapan PPKI buatan Jepang. Mereka tidak ingin Bung Karno dan Bung Hatta terpengaruh Jepang dan tidak ingin kemerdekaan RI seolah-olah hadiah dari Jepang.

Mereka lalu membawa  Bung Karno dan Bung Hatta ke rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, Karawang, pada 16 Agustus 1945 pukul 3 dinihari, untuk merumuskan naskah proklamasi. Rengasdengklok dinilai aman, sedangkan di Jakarta para tentara Jepang bersiaga penuh. “Saya dan Guntur yang masih bayi ikut ke Rengasdengklok.  Kami dijemput Sukarni dan Winoto Danuasmoro dengan  mobil Fiat hitam kecil. Di dalam mobil sudah ada Bung Hatta,” cerita Fatmawati.

Pada 16 Agustus 1945 tengah malam Ahmad Soebardjo menjemput Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok. Sesampainya di Jakarta mereka disediakan tempat berkumpul di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Hubungan para nasionalis dekat dengan Maeda,  Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang. Ada 29 orang yang berkumpul di rumah Maeda  pada  malam itu. Mereka adalah Ir.Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantoro (Mas Suwardi Soerjaningrat), Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Teuku Mohammad Hassan, Otto Iskandar Dinata, R.Soepomo, BM Diah, Sukarni, dan  beberapa tokoh lainnya. 

Selama mereka berunding merumuskan naskah proklamasi, Maeda naik ke lantai atas rumahnya. Usai menulis naskah proklamasi bersama Mohammad Hatta dan Achmad Soebardjo, Soekarno membacakannya di hadapan para peserta rapat yang berkumpul di ruang tamu. Rapat baru selesai pada  17 Agustus 1945 pukul 3.00 dini hari,  tanggal 9 Ramadhan.

Setelah mendapat persetujuan dari semua hadirin, Bung Karno segera meminta Mohamad Ibnoe Sajoeti Melik mengetik naskah proklamasi. Sajoeti mengetik naskah ditemani wartawan Boerhanoeddin Mohammad  Diah. Tiga kata dari konsep naskah proklamasi yang ditulis tangan oleh Bung Karno diketik Sajoeti dengan beberapa perubahan kata. Kata ‘tempoh’ diubah menjadi ‘tempo’,  kata ‘Wakil-wakil bangsa Indonesia’ diubah menjadi ‘Atas nama bangsa Indonesia’. Begitu pula dalam penulisan hari, bulan, dan tahun. Tulisan tangan asli Bung Karno kemudian dibuang di tempat sampah oleh Sajoeti tapi dipungut oleh B.M. Diah, seorang penyiar Radio Hosokyoku dan wartawan Asia Raja.

Begitu naskah proklamasi selesai diketik, Soekarno dan Mohammad Hatta  segera menandatanganinya di atas piano di rumah Maeda. Bung Hatta  berpesan kepada para  pemuda  yang bekerja  di kantor-kantor berita agar menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Hari  Jumat, pukul  05.00 pagi,  pada 17 Agustus 1945, mereka ke luar dari rumah Laksamana Maeda dengan bangga karena teks Proklamasi selesai ditulis.

Bung Karno pulang ke Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Jakarta. Ia sedang sakit malaria. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun naskah proklamasi. Pukul 8, dua jam sebelum upacara pembacaan teks Proklamasi, Bung Karno masih berbaring di kamarnya. Ia minum obat kemudian tidur lagi. Pukul 09.00 Bung Karno terbangun. “Saya greges (tak enak badan),” kata Bung Karno.  Ia kemudian berpakaian rapi, memakai kemeja dan celana putih. Bung Hatta dan beberapa orang sudah menunggunya. Fatmawati sudah menyiapkan bendera merah putih.

Pada 17 Agustus 1945 pukul 10 Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda berkumpul di halaman depan rumah Bung Karno. Latief Hendraningrat menjadi pemimpin upacara bendera. Mereka mendengarkan Bung Karno membaca teks proklamasi dengan hikmad, terharu, dan bangga. Beberapa orang menangis terharu. Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman dinyanyikan dengan semangat meski tanpa iringan musik. Bendera merah putih dinaikkan. Setelah upacara yang singkat itu Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. Tubuhnya masih demam. Tapi ia sangat bangga. Sebuah negara baru telah dilahirkan. Pagi itu Indonesia merdeka.

Merdeka !!! Merdeka !!! Merdeka !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar