Kamis, 12 September 2019

Sang Tokoh Dirgantara itupun akhirnya terbang tinggi

Sore menjelang malam, tanggal 11 September 2019, HP saya mulai berbunyi berkali-kali. Notifikasi pesan masuk yang cukup masif, baik personal maupun di grup, menandakan pentingnya berita yang beredar.

Ya, kabar duka kembali menyelimuti Indonesia. Bangsa ini kehilangan seorang tokoh revolusioner yang mungkin hingga kini belum ada gantinya.

Presiden ke-3 Republik Indonesia, mantan Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Ketua BPPT, Prof. Dr. Ing. DR. Sc. h. c. (Mult) Bacharuddin Jusuf Habibie, telah pergi menghadap Sang Maha Kuasa.

Tak perlu diceritakan tentang almarhum, tentang sepak terjangnya yang unik, tentang semua karyanya, dan tentang semua yang telah diperbuatnya untuk negeri ini. Semua sudah tahu, dan sudah banyak yang menulis tentang hal itu. Tinggal kita meneladani dan meneruskan apa yang menjadi cita-cita beliau untuk negeri ini, terutama industri dirgantara.

-------------------------------------------------------------------------

Tersebutlah seorang Perwira TNI AU, Fajar Elang Dirgantara, anak seorang pensiunan BUMN yang dulu bernama IPTN. Dinamakan demikian sebab sang ayah berharap anaknya dapat menjadi cahaya bagi sekitarnya dan  melanglang buana laksana elang, sebagai penerus ayahnya yang hanya pegawai biasa di tempat yang luar biasa.

Seiring berjalannya waktu, Dirga (panggilan kecilnya) tumbuh dan berkembang menjadi pemuda yang pintar dan supel. Ia beruntung dapat masuk ke Akademi Angkatan Udara dan melanjutkan ke Sekolah Penerbang TNI AU hingga lulus menjadi seorang penerbang TNI AU yang mengawaki pesawat C-130 Hercules.

Suatu hari, ia ditugaskan untuk mengecek kesiapan pesawat yang baru selesai menjalani perawatan, sebelum diterbangkan kembali ke homebase.

Di sela-sela kesibukannya setelah melaksanakan tes flight, ia teringat kenangan masa kecilnya di seberang landasan Husein Sastranegara, tempat di mana ia sering diajak oleh ayahnya yang seorang mekanik pesawat, bermain sambil belajar hingga akhirnya rasa cinta terhadap kedirgantaraan mulai tumbuh di hatinya.

Diliriknya arloji di tangan kanannya, masih siang dan ada waktu untuk bernostalgia, pikirnya. Iapun bergegas menuju hanggar IPTN (sekarang PT. DI) yang terletak tidak jauh dari tempat pemeliharaan pesawat yang sedang diceknya. Setelah memarkir mobil di samping hanggar, ia bergegas ke pos jaga, memberikan tanda pengenal dan menggantinya dengan pass ring kunjungan. Dengan langkah pasti, ia melangkah masuk ke dalam hanggar yang cukup besar itu. Matanya langsung tertuju kepada sebuah pesawat berwarna putih bergaris biru, yang memiliki marking di sepanjang badannya, bertuliskan N-250, dan sebuah nama di bagian depannya yang bertuliskan "Gatotkaca".

Dihampirinya pesawat tersebut, tangannya menyentuh lembut hidung pesawat yang bersih dan terawat itu, kemudian menyusuri lekukannya hingga ke bagian belakang seiring dengan kenangan yang satu persatu melintas di kepalanya. Kenangan tentang betapa bangganya sang ayah bercerita tentang pesawat tersebut, pesawat yang oleh ayahnya disebut sebagai wujud keajaiban putra bangsa Indonesia. Pesawat yang pernah terbang dan mengharumkan nama bangsa di kancah Internasional, pesawat yang mengilhami dirinya untuk memberikan nama Fajar Putra Dirgantara kepada putra pertamanya dengan harapan yang teramat besar.

Selang beberapa waktu, lamunan tentang kenangan masa kecilnya dibuyarkan oleh kedatangan seorang lelaki berperawakan tegap yang mengenakan jas dan berkacamata hitam. Lelaki itu tersenyum dan kemudian menghampiri  Dirga yang mengenakan Coverall terbangnya. Setelah menghormat, ia melaporkan identitasnya sebagai anggota Paspampres yang sedang mengawal dan mengamankan area hanggar. Tak lama, sesosok lelaki yang sangat dikenal Dirga memasuki hanggar, dialah Pak Habibie, Presiden ke-3 RI, tokoh yang selama ini posternya tertempel di pintu kamarnya sebagai motivasi dalam belajar, tokoh yang selama ini dielu-elukan ayahnya sebagai manusia ajaib, tokoh yang telah menghasilkan banyak karya dan sumbangan terhadap perkembangan industri dirgantara RI.

Beliau menghampiri Dirga, menyalami sambil tersenyum seraya berkata "kamu suka pesawat ini?".

Dirga yang masih diliputi kekagetan dan kekaguman hanya bisa menjawab "Siap, Bapak".

Beliau kemudian berjalan ke arah bagian depan pesawat, menyentuh hidung pesawat dan menyusuri lekukannya hingga ke bagian belakang, sama persis seperti yang dilakukan Dirga. Hanya saja, beliau melakukannya dengan perasaan yang begitu mendalam, seperti halnya seorang ayah memperlakukan anak kesayangannya, mengusap dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Dirga dan pengawal Pak Habibie sedikit menjauh, seakan mengerti suasana yang sedang berlangsung. Suasana yang diliputi keharuan saat sang ayah bertemu anaknya dan melepas kerinduan setelah sekian lama berpisah.

Tak lama berselang, beliau menghampiri Dirga, tersenyum dan berkata, "saya titipkan pesawat ini pada kalian. Terbangkan dia. Tidak hanya di Benua Maritim Indonesia, terbangkan dia hingga ke seluruh dunia. Kita bisa mewujudkannya."

Setelah itu, beliaupun pamit pergi.

-------------------------------------------------------------------------

Surabaya, 12 September 2019.

Dalam keharuan yang mendalam setelah selesai melaksanakan misi penerbangan dalam rangka Latgab TNI "Dharma Yudha" 2019.

Selamat jalan, Eyang. Terbanglah tinggi bersama Sang Gatotkaca. Kami akan meneruskan baktimu untuk kemajuan dirgantara Indonesia.