Kamis, 18 Juni 2015

Tekad seorang renta di rimba Jakarta

Jam tangan seiko saya menunjukkan waktu pukul 15:00 utc yang berarti 22:00 wib saat ayla putih yg saya kendarai keluar melalui gerbang tol cawang. Seiring suara perut yang mulai keroncongan sayapun merubah arah mobil saya untuk menuju cililitan, tepatnya di deretan warung makan depan PGC. Setelah memarkir mobil dan memilih-milih akhirnya pilihan saya jatuh ke warung pecel lele lamongan yang memang terkenal paling pedas sambal bawangnya.

"Pakde, lele goreng 2, tempe + lalapan, nasinya uduk ga pake bawang goreng" ucap saya sambil membuka koran pagi yang memang disediakan oleh sang penjual. Tak lama berselang seorang kakek tua berjalan memasuki warung tenda tempat saya berada sambil menawarkan tissue wajah. Sesaat saya lambaikan tangan saya pertanda saya tidak tertarik dengan apa yg ditawarkan beliau, namun segera saya tarik tangan saya sambil menanyakan berapa harga tissue tersebut, toh hitung2 kebetulan di mobil juga kehabisan tissue.

Sang kakek mengambil tempat duduk di sebelah saya sembari menawarkan dagangan tissuenya yg terdiri dari beberapa ukuran, saya pun memilih ukuran besar sembari mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau;

Saya (S): jam segini masih muter pak, apa ga masuk angin?

Kakek (K): alhamdulillah pak masih kuat, mangga dipilih mau yg polos atau yg bergambar plastiknya

S: bapak tinggal dimana? Dengan keluarga?

K: saya tinggal dengan istri saya di bedeng daerah condet pak, anak2 di kampung.

S: bapak bukan asli jakarta? Istri bapak jualan juga?

K: saya dari kecil sudah merantau ke jakarta pak, kerasnya kehidupan jakarta membuat keluarga kami habis2an, sampai sekarang umur saya 80tahun lebih yaaa cuma begini pak, jualan tissue

Tak lama berselang, pesanan saya datang, sayapun menawarkan sang kakek untuk menemani saya makan sambil menawarkan menu yang ada dan melanjutkan obrolan kami...

K: duh pak, makasih banyak ini saya malah ditraktir makan

S: gapapa pak, sekalian temani saya ngobrol, ohya bapak jualan tissue modal berapa?

K: saya ga modal pak, saya ambil dari gudang di daerah kalibata, dicatat bawa berapa nanti lakunya berapa itu yang disetorkan, tissue yg kecil 2500 saya jual 3000, yang besar 9000, saya jual 10,000.

S: sehari bisa laku berapa tissue pak?

K: yaaaah, kadang 10 bungkus, pernah 30 bungkus, pernah juga ga laku sama sekali, di tiap perempatan lalu lintas pasti banyak yg jual tissue pak...

Sesaat saya berhitung, taruhlah rata rata 20 bungkus kecil, berarti si kakek hanya mendapatkan 10,000 rupiah

S: sehari bapak dapat segitu cukup pak?

K: yaaaaah, dibilang cukup sih ngga, dibilang ga ya cukup pak, gimana kita bersyukur aja sama Yang Kuasa, itung2 sambil olahraga pak mengisi hari tua, daripada jadi pengemis, toh saya masih kuat cari uang...

Done!!!! Hati saya tersentil mendengar ucapan sang kakek, beliau rela berjualan tissue dengan keuntungan 500 rupiah yang terkadang tidak beliau dapatkan saat kita menawar dagangannya di jalan, yaaah...uang 500 rupiah mungkin bukanlah apa apa untuk kita, sekedar mengisi celah kecil tempat recehan di mobil yang kadang kita lemparkan ke pengamen jalanan, "pak ogah" maupun para pengemis yang (siapa tahu) memang diorganisir dan ternyata punya rumah mewah di kampungnya.

500 rupiah ternyata memiliki arti yang begitu besar bagi seorang kakek tua penjual tissue yang tidak mau merendahkan dirinya dengan mengemis, seorang renta yang berjuang di rimba ibukota, mencari nafkah bagi keluarganya.

Aah, malu rasanya hati ini, saya belum cukup bersyukur, terkadang saya juga merasa bangga saat berhasil menawar dagangan dari para penjual seperti mereka....

Yah, obrolan pun ditutup dengan sebungkus nasi dengan lauk ayam goreng spesial yang saya titipkan untuk istri sang kakek. Seiring langkah saya meninggalkan beliau, terucap tekad dalam hati untuk lebih bersyukur serta seuntai doa untuk kesehatannya agar dapat melanjutkan perjuangannya menaklukkan rimba Jakarta...

Suatu malam di Cililitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar