Rabu, 12 April 2017

PATUNG PANCORAN DAN KISAH SEDIH DIBALIK SEJARAHNYA


Versi awal Patung Pancoran, tangan memegang pesawat. Tapi kemudian direvisi, karena seperti mainan. Akhir nya dibuat natural. Patung Pancoran adalah ide Bung Karno sebagai simbol kebangkitan pertahanan dan industri dirgantara di tanah air. Pematungnya adalah Edhi Sunarso, yang rela berkorban harta agar patung ini selesai, patung Pancoran menyimpan kisah sedihnya sendiri...

Berikut dikutip dalam majalah Angkasa :

“Dhi, saya mau membuat Patung Dirgantara untuk memperingati dan menghormati para pahlawan penerbang Indonesia. Kau tahu kalau Bangsa Amerika, Bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya. Tetapi Indonesia, apa yang bisa kita banggakan? Keberaniannya!!!”

Demikian percakapan Bung Karno dengan Edhi Sunarso di teras belakang Istana Negara, Jakarta, 1964 yang menyiratkan betapa bangganya Presiden pertama Indonesia itu dengan heroisme para penerbang Indonesia. Ironisnya, tidak semua orang mengenal penggagas dan pembuatnya, apalagi memahami gagasan dan permasalahannya.

Suatu hari penulis memiliki kesempatan untuk melakukan wawancara langsung dengan Edhi Sunarso (82), pematung legendaris kepercayaan Presiden Sukarno di kediamannya di Jl. Kaliurang Km 5,5 No. 72 Yogyakarta.

Dalam kesempatan peresmian “Tugu Muda” Semarang tahun 1953 yang dikerjakan oleh Sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan, Edhi Sunarso bertemu dengan Bung Karno.

Kala itu Bung Karno menghampiri Edhi dan berkata, “Selamat ya, sukses.” Edhi terdiam bingung mendapat ucapan tersebut. Beberapa hari kemudian ia baru tahu kalau dirinya menjadi juara kedua lomba seni patung internasional yang diselengarakan di London dengan judul “Unknown Political Prisoner”.

Usai menyelesaikan pembuatan relief Museum Perjuangan di daerah Bintaran Yogyakarta tahun 1959, Edhi dipanggil Bung Karno untuk menemuinya di Jakarta. Panggilan tersebut sempat membuatnya terkejut. Dalam hati, Edhi bertanya-tanya ada kepentingan apa Bung Karno memanggilnya ke Jakarta. Selain dia, dua seniman lainnya, yaitu Henk Ngatung dan Trubus juga mendapat panggilan serupa.

Ketiga pematung andalan Indonesia ini kemudian melahirkan patung Selamat Datang yang hingga kini bisa kita nikmati di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.

Dari sekian banyak proyek pembuatan monumen dari Bung Karno, Edhie mengakui kalau pembuatan Patung Dirgantara nyaris mandek. Patung Dirgantara dimaksudkan Bung Karno untuk menghormati jasa para pahlawan penerbang Indonesia yang berhasil melakukan pengeboman terhadap kedudukan Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga menggunakan pesawat-pesawat bekas peninggalan Jepang.

“Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah berani. Kalau Amerika dan Soviet bisa membanggakan dirinya karena punya industri pesawat, kita juga harus punya kebanggaan. Jiwa patriotisme itulah kebanggaan kita! Karena itu saya ingin membuat sebuah monumen manusia Indonesia yang tengah terbang dengan gagah berani, untuk menggambarkan keberanian bangsa Indonesia. Kalau dalam tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang tengah menjejakkan bumi,” ujar Edhie Sunarso mengenang perkataan Bung Karno panjang lebar.

Bung Karno meminta Edhie untuk memvisualisasikan sosok lelaki gagah perkasa yang siap terbang ke angkasa. Bahkan Bung Kano kemudian berpose sambil berkata, “Seperti ini lho, Dhi. Seperti Gatotkaca menjejak bentala.”

Setelah model Patung Dirgantara, atau patung Pancoran selesai, Edhie mengusulkan kepada Bung Karno agar patung yang rencananya berbentuk seorang manusia yang memegang pesawat di tangan kanannya diubah.

“Pak, dengan memegang pesawat di tangan kok terlihat seperti mainan,” ujar Edhie. “Bagaimana kalau di tangan kanannya tidak usah ada pesawat. Cukup dengan gerak tubuh manusia saja, didukung gerak selendang yang diterpa angin,” lanjut Edhie. “Yo wis Dhi, nek kowe anggep luwih apik yo ora usah dipasang. Ora usah digawe,” (Ya sudah Dhi, kalau kamu menganggap lebih baik ya tidak usah dipasang. Tidak usah dibuat) jawab Bung Karno.

Pembuatan monumen Patung Dirgantara sempat terhenti karena terjadi peristiwa G30S/PKI. Di sisi lain Edhie juga sudah tidak memunyai bahan-bahan, dan tidak memunyai uang lagi untuk melanjutkan pekerjaan. Ia bahkan menanggung utang kepada pemiliki bahan perunggu dan kepada bank.

Patung Digantara sempat beberapa tahun terbengkalai di Studio Arca Yogyakarta dalam bentuk potongan-potongan yang siap dirangkai. “Patung sudah selesai dicor perungu dan tinggal dibawa untuk dirangkai di Jakarta,” ujarnya.

Februari 1970, di sela-sela pengerjaan diorama untuk Museum ABRI Satria Mandala, Edhie mendapat panggilan panitia pembangunan Monas untuk menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut Edhie melihat Suryadarma dan Leo Wattimena, serta pelukis Dullah dan beberapa teman dekatnya. “Saudara Edhie, piye kabare?” kata Bung Karno. “Patung Dirgantara nang endi?”

“Sampun rampung, Pak, (Sudah selesai, pak)” jawab Edhi.

“Kok durung dipasang? tanya Bung Karno.

Bung Karno terenyuh. Tidak berapa lama ia memanggil Gafur dan Dullah yang duduk di belakang Bung Karno.

“Fur, mobilku dolen, sing Buick. Nek wis payu duite serahno Edhi ben cepet (Fur, mobilku jual saja, yang Buick. Kalau sudah laku, uangnya serahkan Edhie supaya cepat) dipasang patungnya,” ujar bung Karno.

Setelah itu Edhie pamit pulang ke Yogyakarta untuk mempersiapkan pengangkutan patung ke Jakarta. Sebelum pulang, seorang staf Bung Karno menyerahkan uang sebesar Rp1.750.000 kepada Edhi untuk biaya transportasi pengangkutan patung ke Jakarta.

Tak sampai meresmikan

Satu minggu pekerjaan berjalan, Bung Karno melihat langsung pengerjaan merangkai patung. Setiap bagian yang diangkat rata-rata seberat 80-100 kg. Pemasangan dimulai dari bagian kaki sampai pinggang dan setiap sambungan dilas.

Ketika sampai pengelasan pada bagian pinggang, Edhie melihat ke bawah dan terlihat banyak orang berkerumun termasuk Bung Karno. Padahal, kondisi kesehatan Bung Karno saat itu sedang tidak baik dan ia sudah tinggal di Wisma Yaso. Edhie pun bergegas untuk turun, namun dilarang oleh Bung Karno.

Minggu pertama April 1970, pemasangan patung sudah sampai di bagian pundak dan tangan kanan sudah terpasang. Sedangkan tangan kiri dalam tahap penyambungan. Dalam kondisi yang kurang sehat, Bung Karno kembali meninjau proses pemasangan. Seperti yang pertama, Edhi segera bergegas untuk turun dari atas, tetapi lagi-lagi dilarang oleh Bung Karno. Bung Karno meminjam megaphone pasukan pengawal agar saya terus bekerja.

Mei 1970, Edhi mendengar kabar kalau Bung Karno akan melakukan inspeksi untuk ketiga kalinya. Akan tetapi hal itu ternyata tidak pernah terlaksana karena sakit Bung Karno semakin serius .

Pagi pukul 10.00 tanggal 21 Juni 1970, Edhi yang kala itu sedang berada di puncak Patung Dirgantara, melihat iring-iringan mobil jenazah melintas di bawah monumen. Ternyata itu adalah iring-iringan mobil jenazah Bung Karno dari Wisma Yaso menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Jenazah Bung Karno akan dibawa ke Blitar.

Badan Edhie lemas. Ia bergegas turun dan bersama rekannya Gardono, bergegas menuju Blitar untuk mengikuti upacara pemakaman Bung Karno.

Semingu setelah pemakaman Bung Karno, Edhie bersama tim pekerja monumen kembali ke Jakarta untuk melakukan pengerjaan akhir sekitar satu bulan. Edhie meninggalkan monumen dalam kondisi yang belum diberi nama, belum diresmikan, dan masih memiliki utang.

Namun ia merasa ikhlas dengan apa yang telah ia kerjakan untuk seorang tokoh sebesar Bung Karno yang sangat ia kagumi. Tokoh yang sangat dekat dengan seniman dan menghargai seni.

“Saya rela demi rasa cintaku kepada bangsa dan negara dan cintaku kepada Bung Karno yang selalu mendorong dan membangkitkan keberanian saya untuk mewujudkan ide-ide dan mengerjakan karaya-karya monumental Bung Karno,” kata Edhi.

(Sumber : angkasa.co.id)
(Foto : Ryumavic)

6 komentar:

  1. Wah, aku baru tau nih cerita di balik pembuatan patung Pancoran ini. Padahal sering lewat, tapi ya gitu, lewat ya lewat aja, liat ya liat kayak liat pajangan di jalanan aja, tapi ga pernah penasaran gimana-gimana. Payah banget :( Baca tulisan ini jadi sadar rasa kepedulianku kurang banget. Nilai sejarahnya tinggi banget, harusnya bangga. Jadi malu.. 😔😔😔

    BalasHapus
  2. Wah... ternyata walaupun buat negara, ga mudah menghadirkan patung pancoran ya..kisahnya mengharukan...

    BalasHapus
  3. Ternyata ya, bener2 perjuangan, sampai hutang2, terenyuh, Presiden Soekarno tidak bisa meresmikannya.

    Memang, kita perlu tahu sejarah, supaya kita bisa menghargai apa yang telah terjadi sebelumnya, apa yang telah dikorbankan, apa yang menjadi kebahagiaan atau kesedihan.

    Yang saya belum paham, dulu untuk membuat monumental seperti itu tidak ada budget khusus ya, sampai si seniman harus bersusah payah meluangkan semua daya upaya, cipta, rasa, karsanya untuk menjadikan sebuah karya. Mungkin sebgitu sulitnya dulu Indonesia ya?

    Sedih melihat jaman sekarang, proyek2 monumental justru jadi bahan bancakan orang2 untuk mencari keuntungan, bukan kerugian, padahal untuk negara.

    BalasHapus
  4. Ternyata di balik gagahnya patung ini, tersimpan kisah yang membuat hati terenyuh.
    Semoga kita bisa menjadikan kisah ini sebagai teladan.

    BalasHapus
  5. oh
    makanya namanya patung dirgantara ya..

    BalasHapus
  6. Kelihatannya ada tahun yg tidak cocok dengan sejarah "resmi" patung Dirgantara Pancoran.
    Pada Des 1967 pak Karno ditempatkan di Wisma Yaso, sejak saat itu beliau tidak lagi bisa bebas bepergian.
    Mungkin Pak Edhi sebagai seniman pematungnya agak sedikit lupa, sejarah resmi mengatakan Patung Dirgantara Pancoran diresmikan tahun 1966..

    Maaf jika pendapat saya salah ( cmiiw )

    BalasHapus